Pantai Berpasir, Saksi Berbagai Keindahan yang Terancam Jadi Kenangan
Februari 25, 2021Para Perempuan Penjaga Laut
Maret 8, 2021Di masyarakat 4.0 terdapat anekdot bahwa internet telah menggeser kebutuhan fisik seperti pangan, sandang, dan papan sebagai kebutuhan paling dasar dalam hierarki kebutuhan Maslow. Lalu, apa yang akan terjadi bila internet musnah di masa depan?
***
Penjaga Laut, temuan teknologi jaringan internet pada abad ke-20 adalah penemuan paling revolusioner hingga saat ini. Betapa tidak? Internet mampu mendorong penyebaran arus informasi ke seluruh penjuru dunia. Berkat internet pula berbagai urusan, mulai dari transaksi online sampai mencari jodoh bisa dilakukan dengan satu sentuhan di layar gawai pintar yang kita genggam. Terlebih di masa pandemi covid-19 kini, kita semua dapat melakukan segala aktivitas dari rumah guna menekan tingkat penyebaran resiko terpapar virus corona berkat internet.
Namun, bagaimana bila koneksi internet musnah? Kekacauan hebat tentu menjadi keniscayaan, mulai dari tak bisa menggunakan internet banking untuk membayar tagihan dan membeli kebutuhan dasar, kesulitan mengakses informasi untuk kebutuhan tugas kuliah, rapat daring menjadi tak mungkin, hingga hancurnya berbagai hal pada skala makro seperti perekonomian.
Kabar buruknya, ancaman-ancaman tersebut tak hanya dalam film fiksi sains belaka, jaringan internet benar-benar berpotensi musnah di masa depan. Krisis iklim yang sedang terjadi sekarang adalah penyebabnya.
Ancaman musnahnya jaringan internet terdengar pertama kali di negeri Paman Sam, negara tempat kelahiran internet hampir setengah abad lalu. Paul Barford, seorang seorang profesor ilmu komputer dari University of Wisconsin-Madison, mengungkap bahwa para peneliti telah menemukan indikasi bahwa krisis iklim akan berdampak pada jaringan internet. Awalnya mereka menduga bahwa bencana akan terjadi lebih lambat, sekitar 50 tahun mendatang, tetapi penelitian terkini menunjukan bahwa kita tak punya waktu sebanyak itu. Penelitian dari seorang mantan mahasiswa Barford, Ramakrishnan Durairajan dan Carol Barford menemukan bahwa lebih dari 4.000 mil kabel serat optik yang dipendam dan 1.100 simpul lalu lintas internet akan terendam air laut pada tahun 2033, atau 15 tahun lagi.
Barford menjelaskan kondisi New York sebagai gambaran kasus. Menurutnya, New York adalah salah satu wilayah metropolitan yang paling berisiko akan kehilangan hampir 20 persen saluran internet dalam kota dan 32 persen dari saluran jarak jauh akibat naiknya permukaan air laut. Dengan kehilangan sekian persen tersebut, akses internet dapat dipastikan lumpuh total. Bayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia, negara kepulauan yang luas, dimana penduduknya mengandalkan internet untuk tetap terhubung dengan teman dan saudara yang berada di seberang lautan.
Dikutip dari lokadata.id, sebagian kabel serat optik yang berfungsi untuk transfer data berada di dasar laut dan memiliki lapisan pelindung, tetapi lebih banyak kabel yang dipendam di daratan termasuk di kawasan pesisir dan tak tahan pada sifat korosif air laut. Mayoritas fasilitas jaringan internet yang dibangun pada 20 hingga 25 tahun lalu belum menghitung potensi bencana kenaikan muka air laut akibat krisis iklim. Akibatnya, kabel-kabel dan fasilitas di kawasan pesisir tersebut tentu tak akan dapat beroperasi bila terendam air laut.
Ancaman musnahnya internet kini tak hanya sekedar latar cerita film, ia benar-benar nyata. Bukan hanya Amerika Serikat yang terancam, banyak negara termasuk Indonesia juga dalam bahaya. Tak seperti internet doomsday 9 Juli 2012, dimana jaringan internet hanya mati selama satu hari untuk menangkal sebaran virus, musnahnya internet akibat naiknya permukaan air laut akan berlangsung lama dengan ongkos perbaikan yang luar biasa mahal. Tak ada jalan lain, kita harus benar-benar mengendalikan laju perubahan iklim.
Sumber :
Study Suggests Buried Internet Infrastructure at Risk as Sea Levels Rise, newswise.com, 12 Juli 2018.
Internet terancam naiknya permukaan laut, lokadata.id, 25 Juli 2018.