Alih Fungsi Lahan Merusak Mangrove Kita
Mei 29, 2021Nasib Nelayan Di Tengah Perubahan Iklim
Juni 5, 2021Dimuilainya era industri dalam skala besar pada tahun 1960an yang ditandai dengan perluasan dan pengoperasian pabrik dan tambang telah menghilangkan sejumlah hutan dan juga pencemaran lingkungan dalam tingkat yang berbahaya. Jika di Eropa hampir di seantero negeri penuh dengan kabut asap akibat limbah udara yang membumbung dari corong-corong pabrik, di Jepang Jepang menjalar penyakit Minamata. Hal tersebut menyebabkan kekhawatiran sejumlah negara dan mendorong munculnya Konferensi tentang Lingkungan Manusia yang berlangsung di Stockholm, Swedia pada 5 Juni 1972. Hari tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Dalam konferensi yang diinisasi oleh PBB tersebut, disepakati beberapa hal diantaranya rencana aksi, untuk mengendalikan kerusakan lingkungan. Rencana aksi tersebut mencakup perencanaan dalam hal pemukiman, pengelolaan sumberdaya alam, pengendalian pencemaran lingkungan, pendidikan serta informasi mengenai lingkungan hidup. Kini puluhan tahun berselang sejak konferensi tersebut dihelat, bagaimana kondisi lingkungan hidup kita?
Eksplotasi alam, laju pembangunan dan pencemaran lingkungan telah mendorong terciptanya perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan konsekuensi yang dipicu oleh ketiga faktor tersebut dan mengakibatkan beberapa fenomena seperti kenaikan suhu, kenaikan muka air laut yang berujung kepada curah hujan meningkat, ombak tinggi, abrasi serta kenaikan muka air laut.
Indonesia juga tak luput dari dampak perubahan iklim ini. Sebagai negara yang memiliki garis pantai tepanjang ke dua di dunia dengan jumlah 108.000 km, pesisir Indonesia sedang mengalami krisis ruang hidup akibat abrasi dan kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh ekploitasi, pembangunan dan pencemaran lingkungan di pesisir.
Krisis ruang hidup adalah keadaan genting akibat degradasi pada tempat atau wadah bagi semua aktivitas mahkluk hidup yang disebabkan karena aktivitas manusia dalam mengeksploitasi alam. Eksploitasi alam, laju pembangunan, pencemaran lingkungan dan perubahan iklim telah memicu degradasi ruang makhluk yang hidup di suatu habitat tertentu.
Pesisir utara pulau Jawa misalnya, masa jaya tambak yang dimulai sejak 1970an kini perlahan musnah. Di Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat, belasan hektare tambak bandeng kini rata air. Sumber pendapatan tergerus. Sekitar 2.000 kepala keluarga mengungsi ke daratan lebih tinggi. Di Demak, Jawa Tengah dampaknya bahkan lebih parah. Sayung yang merupakan dusun penghasil bandeng kini hanya tinggal kenangan karena seluruh wilayah penduduknya telah tergenang air akibat abrasi dan kenaikan muka air laut.
Sementara itu pada 2020, ekspansi sawit di Sumatera Utara telah menghancurkan hutan mangrove dan menyebabkan sejumlah makhluk hidup dan biota laut kehilangan habitatnya. Bergeser ke Bangka Belitung, ada 10% daratan Bangka beralih jadi perkebunan sawit besar. Laju deforestasi, degradasi lahan sampai ke konflik agraria terjadi. Lebih parah lagi, perusahaan juga menanam sawit di pesisir pantai.
Kondisi ini juga semakin diperparah dengan dampak perubahan iklim secara global. Di dekade2010-2020, dunia mencatat sejumlah fakta tentang kondisi bumi yang semakin mengkawatirkan. Tahun 2016, misalnya, Data NASA dan NOAA menunjukkan bahwa rata-rata suhu global pada 2016 adalah 1,78 derajat fahrenheit (0,99 derajat celcius), lebih hangat daripada rata-rata suhu bumi di pertengahan abad ke-20. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer kita, pada 2018, adalah yang tertinggi dalam tiga juta tahun tahun terakhir dengan jumlah 408 bagian per juta (ppm).
Sejumlah dampak tersebut telah menempatkan masyarakat pesisir dalam konsisi terancam. Pesisir yang seharunya menjadi tempat bagi mereka untuk melansungkan kehidupannya kini semakin terkikis akibat laju abarasi dan ancaman kenaikan muka air laut. Beberapa masyarakat di pesisir utara Pulau Jawa dan Sumatera adalah contoh bagaimana perubahan iklim tak hanya menghilangkan mata pencaharian, tapi juga menghilangkan ruang hidup mereka.
Jika laju dampak perubahan iklim tak terbendung, diperkirakan sekitar 23 juta orang di pesisir Indonesia harus menghadapi ancaman banjir laut tahunan pada tahun 2050 akibat peningkatan ketinggian air laut yang disebabkan perubahan iklim abad ini.
Nah, penjaga laut, pada hari lingkungan hidup tahun ini sejumlah negara yang tergabung dalam PBB untuk menginisiasi Dekade Restorasi Ekosistem PBB 2021 – 2030. Dekade PBB ini dimaksudkan untuk memulihkan ekosistem yang terdegradasi dan hancur untuk memerangi perubahan iklim, mencegah hilangnya satu juta spesies dan meningkatkan ketahanan pangan, pasokan air dan mata pencaharian.
Langkah-langkah tersebut tentu perlu juga didukung dengan upaya dan inisiatif masing-masing dari kita untuk meghentikan dampak dari laju perubahan iklim. Tanpa upaya dan inisiatif dari masyarakat, langkah-langkah yang dilakukan oleh negara-negara tersebut akan berulang seperti tahun-tahun sebelumnya. Maka dari itu, tunggu apa lagi, partisipasimu sangat dibutuhkan untuk berupaya mencegah laju perubahan iklim.
Sumber:
https://environment-indonesia.com/sejarah-terbentuknya-hari-lingkungan-hidup-sedunia/
https://tirto.id/data-dan-fakta-tentang-perubahan-iklim-dalam-angka-fswE
http://indonesiabaik.id/infografis/mengenal-perubahan-iklim-faktor-dan-dampaknya
https://www.kompasiana.com/memeymaysa/54f7ac0ba33311df1d8b46c6/ruang-hidup-life-space-kurt-lewin
https://www.ekuatorial.com/2020/02/krisis-iklim-menelan-kehidupan-di-pantai-utara-jawa/
https://www.youtube.com/watch?v=fMI4tdftlPQ&t=31s
https://www.mongabay.co.id/2020/11/18/ancaman-ketika-pulau-kecil-dan-pesisir-jadi-kebun-sawit/