Hak Nelayan yang Perlu Kamu Ketahui
Juni 18, 2021Dampak Overfishing di Indonesia Bagi Nelayan Kecil
Juni 20, 2021Apa yang menyebabkan nelayan kecil terus terjerembab dalam jurang kemiskinan, meski bentang laut Indonesia telah menyediakan kekayaan bahari yang melimpah?
Dengan lebih dari 17.500 pulau, 108.000 kilometer dari garis pantai, dan tiga-perempat dari wilayahnya adalah laut, menjadikan Indonesia memiliki sektor perikanan terbesar kedua di dunia dengan nilai PDB sekitar US$27 miliar. Namun, data Survey Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 menunjukkan nelayan sebagai salah satu profesi paling miskin di Indonesia.
Kondisi ini menandakan belum ada perubahan yang signifikan sejak data dari KKP pada tahun 2012 yang menyatakan, dari 2,75 juta penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai nelayan, 23,79% diantaranya tergolong miskin. Keterpurukan nelayan dalam kemiskinan juga menyebabkan penurunan jumlah rumah tangga perikanan tangkap secara drastis. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan dari 2 juta di tahun 2000 menjadi 966 ribu di tahun 2016.
Penurunan jumlah ini dipengaruhi oleh faktor kemiskinan yang terus melanda rumah tangga nelayan di Indonesia. Kerusakan ekosistem serta keberadaan kapal bermuatan lebih besar dan berteknologi canggih yang mengeruk seisi laut telah menyebabkan para nelayan kecil seringkali pulang dengan tangan hampa.
Tak hanya itu, nelayan kecil di sejumlah wilayah di Indonesia juga kesulitan untuk mengakses BBM. Dikutip dari rri.co.id, nelayan kecil di hampir seluruh pesisir Aceh Timur perlu mengeluarkan biaya operasional yang lebih besar dari biasanya, untuk mengakses BBM di SPBU yang jaraknya cukup jauh dari pesisir. Biaya yang tak sebanding dengan pendapatan memaksa para nelayan kecil ini berhenti melaut pada Maret 2021 lalu.
Kondisi keterbatasan fasilitas serta modal untuk melaut tak jarang membuat nelayan mesti menghutang pada juragan atau punggawa yang memiliki modal besar. Punggawa adalah mereka yang memiliki modal. Dikutip kkp.go.id di beberapa wilayah, nelayan terjerat hutang pada punggawa/juragan sehingga memicu untuk mendapatkan hasil tangkapan dengan cara yang cepat diantaranya dengan bom atau racun ikan. Sebagian besar nelayan pengebom ikan tidak memiliki perahu, alat tangkap maupun modal untuk melaut sehingga mengandalkan pinjaman dari pemilik modal.
Sebagai timbal balik, nelayan akan membayar pinjaman dengan cara menjual hasil tangkapannya kepada punggawa. Pada kondisi tertentu, dari relasi yang terbangun ini para punggawa menciptakan monopoli pemasaran ikan dan menyebabkan nelayan merugi, seperti yang terjadi di Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Staf Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan FPIK IPB yang berjudul Besaran Kerugian Nelayan dalam Pemasaran Hasil Tangkapan: Kasus Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu tahun 2012, ditemukan bahwa nelayan setempat bahkan memiliki ketergantungan terhadap para punggawa ini. Ketika nelayan setempat tengah kehabisan modal untuk melaut aklibat penghasilan tidak sebanding dengan hasil tangkap juga akibat absen karena cuaca buruk, punggawa menjadi tempat bagi mereka memperoleh pinjaman modal. Bahkan beberapa nelayan mesti meminjam uang tunai kepada punggawa untuk membeli solar tiap kali melaut.
Kondisi keterbatasan modal dan rendahnya pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh hasil penjualan ikan di Tempat Pelelangan Ikan Pelabuhan Perikanan Nusantara (TPI PPN) Pelabuhanratu rendah. Hal ini disebabkan karena TPI tidak dipergunakan sebagaimana mestinya secara optimal sehingga memungkinkan terjadi pasar perdagangan ikan yang monopolistik (Lubis et al, 2009). Akibat seringnya nelayan melakukan aktivitas pendaratan ikan pada malam hari, para nelayan ini lebih memilikh menjual ikannya kepada punggawa ketimbang ke TPI di siang hari. Hal ini dikarenakan TPI setempat belum memiliki fasilitas cool room untuk membuat ikan yang ditangkap malam hari bisa tetap segar hingga siang harinya.
Nelayan payang di Pelabuhanratu misalnya, karena kemudahan akses serta prosesnya yang cepat, meminjam uang tunai kepada punggawa serta solar kepada pengecer seringkali dipilih untuk menutup kekurangan biaya operasional mereka disetiap tripnya. Padahal harga solar di pengecer lebih mahal Rp1000,00/liter dari harga di SPBU. Untuk membayar modal yang dipinjam, para nelayan ini otomatis menjual hasil tangkapannya kepada pemilik modal, meski haganya lebih murah dibandingkan dijual ke TPI.
Pada komoditi ikan tuna dan cakalang misalnya, terdapat perbandingan harga hasil tangkapan Rp2.000-Rp5.000 antara konsumen TPI dam punggawa. Jika dijual ke konsumen TPI, tuna biasa dipatok dengan harga Rp12.000-45.000. Sementara jika dijual ke punggawa, tuna dipatok dengan harga Rp.10.000-Rp.40.000 per kg.
Kerugian ini juga diperparah dengan fakta bahwa seringkali para punggawa ini tidak langsung membayar hasil tangkapan para nelayan. Mereka biasanya harus menunggu sampai tiga hari sampai hasil tangkapan terjual kembali. Selama masa tunggu pembayaran, biasanya nelayan beristirahat sambil memperbaiki alat tangkapnya. Rata-rata fishing trip nelayan pancing/rumpon adalah 4 hari. Dengan demikian apabila masa fishing trip ditambah masa tunggu pembayaran, maka dalam sebulan nelayan pancing hanya bisa melakukan 4 trip atau nelayan merugi Rp 2.800.000,00-Rp 7.000.000,00/bulan.
Relasi ketergantungan ini juga semakin menjerat nelayan kecil setempat sebab banyak dari mereka yang tidak mengetahui tidak mengetahui sampai kapan dapat melunasi hutangnya. Di PPN Palabuhanratu para nelayan ini hanya tahu berapa sisa hutangnya saja dari nakhoda kapal yang mendapat informasi dari patron, tanpa adanya transparansi catatan jumlah pinjaman dan angsuran pembayaran yang dilakukan.
Dengan demikian, situasi seperti ini akan terus menyulitkan nelayan kecil untuk keluar dari jurang kemiskinan. Dengan masalah kompleks yang dihadapi nelayan kecil, membuat profesi ini berpotensi untuk ditinggalkan oleh generasi berikutnya. Sungguh disayangkan, padahal selain memasok kebutuhan protein hewani bagi 50% penduduk Indonesia, para nelayan kecil ini juga merupakan garda terdepan bagi keseimbangan ekosistem pesisir di tengah laju perubahan iklim dan ekploitasi alam di pesisir. Maka pertanyaannya apa jadinya laut kita tanpa nelayan kecil di dalamnya?
Sumber:
Kaczan et.al. April 2016. Sustainable Ocean Economy Country Diagnostics Of Indonesia. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Paris, Perancis.
https://www.idntimes.com/science/discovery/viktor-yudha/fakta-unik-laut-indonesia/10 https://kkp.go.id/artikel/23309-berdayakan-perikanan-skala-kecil-kkp-dorong-perekonomian-nasional-dan-asean
https://theconversation.com/nelayan-memang-miskin-tapi-riset-buktikan-mereka-tetap-bahagia-136496
https://www.mongabay.co.id/2018/02/01/subsidi-perikanan-tepatnya-untuk-siapa/ https://theconversation.com/nelayan-memang-miskin-tapi-riset-buktikan-mereka-tetap-bahagia-136496
https://www.mongabay.co.id/2021/04/02/masa-depan-perikanan-dunia-adalah-nelayan-skala-kecil/
http://knti.or.id/fakta-akses-nelayan-kecil-untuk-mendapatkan-bbm-bersubsidi/
http://jdih.kkp.go.id/bahanrapat/bahanrapat_03072019100923.pdf