Apa Kabar Target Konservasi Laut Indonesia?
Juli 5, 2021Area Konservasi Demi Menjamin Keberlangsungan Nelayan Kecil
Juli 7, 2021Penjaga laut, kamu mungkin pernah mendengar lantunan nada-nada merdu dari mendiang Glen Fredly, Andre Henussa atau mungkin Melly Manuhutu. Yap mereka adalah para musisi kelahiran Ambon. Mereka tumbuh dan besar dengan musik yang telah mengakar dan mendarahdaging dalam denyut keseharian masyarakat Ambon. Fakta ini menjadikan Ambon ditetapkan oleh UNESCO sebagai city of Music pada 31 Oktober 2019 lalu. Sayang, pemerintah justru melirik potensi lain, yang berpotensi menjadikan Ambon hanya menjadi objek area yang dikeruk kekayaan lautnya.
Sejak tahun 2010, Maluku dicanangkan sebagai lumbung ikan nasional oleh pemerintah. Pencanangan tersebut didasarkan pada potensi perairan Maluku yang termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Seram, Laut Arafura dan Laut Banda yang memiliki potensi produksi ikan melimpah. Untuk wilayah kota Ambon sendiri dengan luas total lautnya yang mencapai 658.294,69 Km2, dengan panjang garis pantainya 8.2872 Km, Ambon mampu memberikan sumbangan pada sektor perikanan di tahun 2016 mencapai 124.213,4 ton/tahun (DKP Kota Ambon, 2017).
Sedangkan dengan total luas wilayah kelola laut 12 mil atau setaran dengan 152.570 Km2, potensi sumberdaya perikanan di Ambon terdiri dari ikan pelagis, demersal dan Biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi. Untuk jenis ikan pelagis, Ambon memiliki kelimpahan stok mencapai 377,01 ton/bulan. Sedangkan untuk jenis ikan demersal Ambon mampu menghasilkan 240,2 ton/bulan. Pemanftaan jenis ikan ini bahkan mencapai 240,2 ton/bulan.
Namun faktanya potensi perikanan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir penduduk di Ambon. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), keluarga miskin di Ambon saat ini berjumlah 15.100 kepala keluarga (kk). Data lain juga menunjukan, dari sebagian masyarakat di Ambon yang berprofesi sebagai nelayan, mayoritas nelayan tersebut adalah nelayan kecil dengan bermodalkan alat tangkap skala kecil seperti jaring angkat, insang dan pancing tonda serta motor tempel dengan kapasitas di bawah 5 GT.
Dalam sebuah penelitian yang berjudul Kelas Dan Ketimpangan Struktural Nelayan Di Kota Ambon, pada tahun 2017, ditemukan bahwa terdapat gap ketimpangan yang cukup besar antara nelayan kecil dan nelayan besar di negeri latulahat, Ambon. Dari 57% penduduk setempat yang berprofesi sebagai nelayan, nelayan kecil mendominasi jumlah tersebut dengan pendapatan perbulan Rp. 2.040.000,- per bulan. Jumlah ini jauh berbeda ketimbang pendapatan nelayan besar yang bahkan menyentuh angka Rp. 182.554.166,- per bulan.
Fakta ini tak terlepas dari kondisi nelayan kecil yang mengalami kesulitan dalam akses serta fasilitas mereka untuk melaut. Rata-rata nelayan kecil di negeri latulahat, Ambon adalah nelayan dengan alat tangap seadanya yaitu alat tangkap jaring puri, jaring, dan pancing tangan serta perahu berbahan kayu, mesin ketinting berkapasitas 5Pk. Nelayan ini bekerja secara individu dam bergantung pada musim. Keterbatasan ini juga belum dihitung dengan fakta bahwa nelayan kecil di negeri latuhatu, Ambon, kesulitan mengakses BBM. Akibatnya mereka tidak bisa menempuh jarak yang lebih jauh untuk memperoleh hasil tangkap yang lebih banyak dari biasanya. Kondisi ini tak jarang membuat sebagian nelayan kecil di sana seringkali melakukan hutang atau pinjaman, mereka sering terkendala pada pinjaman (bon) di kios-kios maupun pembayaran kredit motor yang harus dibayar secara angsur setiap bulan.
Berbeda dengan nelayan besar yang pendapatan mereka jauh di atas pendapatan nelayan kecil. Nelayan besar atau pemilik kapal di negeri latuhatu, Ambon merupakan nelayan yang memiliki kepemilikan alat tangkap berupa purse seine (jaring bobo) dan memiliki kapal (bodi) dan bermesin tempel 24pk terdiri dari 2-4 unit dalam satu kapal. Mereka juga memiliki akses pada pemerintah negeri maupun stakeholder terkait sehingga nelayan besar yang paling banyak mendapatkan akses modal dan bantuan motorisasi alat tangkap.
Penetapan Ambon sebagai Lumbung Ikan Nasional berpotensi melebarkan jurang antara nelayan kecil dan nelayan besar semakin lebar. Kebijakan ini juga berpotensi hanya menguntungkan para nelayan besar yang notabene memiliki akses modal dan relasi kuat dengan orang-orang pemerintahan. Belum lagi, seiring Ambon ditetapkan sebagai Lumbung Ikan Nasional akan muncul target produksi ikan yang berpotensi menyebabkan overfishing oleh kapal-kapal bermuatan besar milik nelayan besar. Akibatnya nelayan kecil yang sudah sangat sulit memperoleh hasil tangkap yang cukup untuk kebutuhan mereka.
Padahal ambon bukan hanya kota dengan kekayaan bahari yang melimpah yang hanya bisa dijadikan objek untuk dikeruk kekayaan alamnya. Ambon adalah kota yang hidup, kota kreatif, kota yang melahirkan banyak melahirkan musisi terkenal yang berkiprah di luar daerah maupun luar negeri. Fakta ini semakin menegaskan betapa kuatnya music dalam denyut keseharian masyarakat di Ambon. Maka tak heran, pada 31 Oktober 2019 lalu Ambon ditetapkan oleh UNESCO sebagai City of Music.
Penetapan Ambon sebagai Lumbung Ikan Nasional seolah menutup mata akan potensi lain yang mestinya bisa dimaksimalkan. Sebab, meskipun kehidupan masyarkat ambon sangat kental dengan music. Tidak banyak masyarakat di sana yang mau menjadikan musisi sebagai profesi. Pendapatan dan juga kepastian karier yang sulit didapat menjadikan musisi sebagai profesi yang dianggap merugikan. Sudah seharusnya para musisi local mendapat akses dan juga fasilitas yang dapat mendukung daya kreatifitas mereka. Pemerintah juga seharusnya mampu memberikan kepastian kepada para musisi ini untuk melindungi karya mereka dari pembajakan. Dengan demikian masyarakat ambon yang ingin meniti karier sebagai musisi merasa yakin bahwa mereka akan mendapat kepastian akan nasib mereka di Industri music.
Sumber:
Sihasale Anthoni Daniel. Januari 2013. Keanekaragaman Hayati Di Kawasan Pantai Kota Ambon Dan Konsekuensi Untuk Pengembangan Pariwisata Pesisir. Journal of Indonesian Tourism and Development Studies Vol.1, No.1. Universitas Brawijaya, Malang, Indonesia. http://jitode.ub.ac.id
Hikmayani, Suryawati. November 2016. Evaluasi Kesiapan Kota Ambon Dalam Mendukung Maluku Sebagai Lumbung Ikan Nasional. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi KP Vol. 6 No.2 Desember 2016: 97-110. http://ejournal-balitbang.kkp.go.id
Attamimi et.al. 2017. Kelas Dan Ketimpangan Struktural Nelayan Di Kota Ambon. Jurnal Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. http://journal.ipb.ac.id
Tiven et.al. Oktober 2018. Efektivitas Kebijakan Kartu Nelayan Kota Ambon. Jurnal TRITON Volume 14, Nomor 2, hal. 76-87. Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpatti.
Damayanti Trie. Strategy City Branding Ambon City of Music oleh Masyarakat dan Dinas Pariwisata Kota Ambon. Bunga Rampai Komunikasi Indonesia. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran.