Nelayan Kecil dan Tradisional Terhimpit Perubahan Iklim
April 12, 2021Sasi Menjaga Laut Tetap Lestari
April 16, 202190% dari total stok ikan dunia telah berstatus sepenuhnya dieksploitasi, dieksploitasi secara berlebih, atau bahkan habis menurut laporan FAO pada 2018. Setahun sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI no. 50/KEPMEN-KP/2017 menetapkan sebagian besar jenis ikan di berbagai Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) telah berstatus fully-exploited atau bahkan over-exploited, seperti salah satunya adalah kelompok ikan pelagis besar.
Salah satu penyebab eksploitasi berlebih tersebut adalah penggunaan alat tangkap masif dengan kerapatan jaring yang tinggi. Ukuran jaring yang besar membuat jumlah ikan yang tertangkap sangat banyak, dan mata jaring yang terlampau kecil membuat ikan-ikan yang masih kecil turut tertangkap. Artinya, ikan-ikan muda tak sempat tumbuh besar dan berkembangbiak. Selain itu, alat tangkap tak ramah lingkungan seperti cantrang, 49%-54% hasil tangkapannya merupakan hasil tangkapan sampingan (bycatch), yang tak jarang di antaranya adalah biota laut dilindungi. Bycatch yang tak bernilai ekonomis itu pun akhirnya kerap dibuang membusuk. Kemudian, selain menghabisi ikan-ikan bayi dan menangkap biota dilindungi, alat tangkap rakus tersebut juga kerap merusak terumbu karang rumah bagi para ikan. Pengoperasiannya di dasar laut membuat terumbu karang turut tersangkut. Di lain sisi, bobot jumlah tangkapan yang berat juga menghancurkan ekosistem dasar laut, ibarat menyeret batu besar di sawah penuh padi.
Menimbang stok ikan dunia yang terus tergerus, alat tangkap tak berkelanjutan seperti ini seharusnya tak lagi digunakan. Sebenarnya sudah sejak 26 tahun yang lalu FAO menetapkan kriteria alat tangkap ramah lingkungan yaitu: (1) mempunyai selektivitas tinggi; (2) tidak merusak habitat; (3) menghasilkan ikan berkualitas tinggi; (4) tidak membahayakan nelayan; (5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6) bycatch rendah (hasil tangkap sampingan rendah); (7) dampak ke biodiversity rendah; (8) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; (9) diterima secara sosial. Kriteria ini wajib dipenuhi untuk memastikan kelestarian ekosistem laut dan jenis ikan yang ditangkap tidak terganggu akibat aktivitas eksploitasi.
Alat Tangkap Ikan Tradisional
Di indonesia, terdapat berbagai alat tangkap ikan tradisional, salah satunya adalah bubu atau yang oleh nelayan tradisional di Flores disebut wuo. Bubu biasanya dibuat dari bambu dan memiliki lubang jaring keranjang yang besar. Bentuk alat tangkap tradisional menyerupai persegi, dan memiliki lubang kerucut sebagai tempat ikan masuk. Cara kerjanya pun sederhana, bubu cukup diletakan dengan batu pemberat di area terumbu karang, dimana ikan biasanya berkumpul. Pengambilan ikan yang terperangkap di dalam bubu pun dirancang sedemikian rupa agar tak merusak terumbu karang di sekitarnya. Yang lebih menarik, prinsip lestari tidak hanya diterapkan dalam proses penangkapan ikan, tetapi juga selama proses pembuatan bubu. Pengrajin bubu adalah orang-orang khusus yang dianggap sabar dan tak bermusuhan dengan orang lain, sebab proses pembuatan menuntut ketelatenan dan bubu tak boleh dibuat asal-asalan. Penggunaan bubu oleh masyarakat Flores pun sangat berhati-hati. Bubu diberi pemberat agar saat diterjang ombak, bubu tak merusak terumbu karang di sekitarnya. Pemberatnya pun menggunakan batu dari darat, bukan karang. Ikan-ikan yang masih bayi yang terperangkap pun dilepas kembali oleh para nelayan.
Selain bubu, alat tangkap tradisional lain yang juga ramah lingkungan adalah huhate. Huhate adalah jenis alat pancing penangkap ikan yang terbuat dari bambu sebagai joran/tongkat dan tali pancing yang mata pancingnya tak berkait. Bentuk mata pancing tanpa hook tersebut menuntut nelayan pengguna huhate keterampilan khusus. Prinsip kerja penangkapan ikan dengan alat ini pada dasarnya adalah mengumpulkan ikan, yang kemudian dirangsang dengan melempar umpan dan semprotan air, kemudian menangkapnya dengan huhate. Peoperasiaan alat tangkap ini biasanya di sekitar rumpon atau di area berkumpul yang kerap ditandai dengan gerombolan burung laut. Di Sulawesi, masyarakat menggunakan huhate untuk menangkap ikan pelagis besar, seperti tongkol, tuna, dan cakalang. Huhate termasuk alat tangkap ikan ramah lingkungan sebab hasil tangkapannya yang selektif.
Penggantian Alat Tangkap Ikan
Pasca pengukuran ulang pada belasan ribu kapal di seluruh Indonesia pada rangkaian program Markdown Amnesty 2017 lalu, banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan seperti cantrang diminta untuk beralih ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Di Pantura salah satunya, dimana kapal cantrang banyak ditemukan melakukan markdown, pemerintah pada 2017 memberikan alat tangkap gillnet millenium kepada ratusan nelayan sebagai pengganti cantrang yang sebelumnya mereka gunakan. Baru-baru ini, di pertengahan bulan Februari lalu, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Tegal menyatakan siap dan bersedia untuk mengganti alat tangkap mereka dengan yang lebih ramah lingkungan. Alat tangkap pengganti tersebut tampaknya adalah alat tangkap baru yang belum diberi nama. Pernyataan sikap HNSI di hadapan Menteri KKP patut untuk terus diamati realisasinya.
Sumber:
https://media.neliti.com/media/publications/13183-ID-alat-penangkapan-ikan-yang-ramah-lingkungan-berbasis-code-of-conduct-for-respons.pdf
Bubu, Alat Tangkap Ikan Tradisional Ramah Lingkungan yang Digunakan Kembali di Flores Timur. 2018. Mongabay.co.id
https://repository.polipangkep.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/ZTI1NmYyMWYwYmVlOWQ2ZjNkYmYyZTBlOGEwODhiZWYwZjYxODVhOA==.pdf
https://tirto.id/cara-kkp-dorong-nelayan-ganti-alat-tangkap-cantrang-chRT
https://www.antaranews.com/berita/1996168/temui-menteri-kkp-hnsi-tegal-sebut-siap-ganti-alat-tangkap-ikan