Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021: Bagaimana Perubahan Iklim Menyebabkan Krisis Ruang Hidup di Pesisir Indonesia
Juni 5, 2021Upaya Masyarakat Pesisir Mengatasi Perubahan Iklim
Juni 6, 2021Penjaga Laut, tahukah kamu bahwa negeri kepulauan yang terbentang dari Sabang-Merauke ini dapat menghasilkan jumlah produksi ikan mencapai 12,54 juta ton per tahun atau setara dengan US$ 20 miliar. Jumlah tersebut dihasilkan oleh lebih dari dua juta nelayan di Indonesia yang merupakan nelayan laut, nelayan PUD dan nelayan pembudidaya. Lebih dari 90% nelayan tersebut adalah nelayan kecil yang menangkap ikan di daerah pesisir yang kini terdampak akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah perubahan pada suhu, curah hujan, pola angin dan berbagai efek-efek lain secara drastis. Perubahan iklim disebabkan oleh Efek gas rumah kaca, Pemanasan Global, Kerusakan lapisan ozon, Kerusakan fungsi hutan, Penggunaan Cloro Flour Carbon (CFC) yang tidak terkontrol dan Gas buang industri. Keenam faktor ini telah menyebabkan seluruh wilayah indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih rendah dibanding wilayah subtropis. Kenaikan suhu ini telah mendorong kenaikan air laut dan menyebabkan banjir rob disejumlah wilayah.
Dari tahun 2000 ke 2030, kenaikan rata-rata permukaan air laut akan meningkatkan risiko banjir pesisir atau rob sebesar 19-37 persen. Tidak hanya wilayah Pulau Jawa saja yang memang sudah rentan terhadap banjir rob ini, tetapi sebagian Sumatera bagian utara, Sulawesi Selatan juga berpeluang ikut terdampak. Namun, tak hanya kehidupan para nelayan di pesisir yang juga ikut terdampak akibat kenaikan air laut, suhu yang meningkat di lautan juga berdampak kepada hasil tangkap nelayan.
Peningkatan suhu menyebabkan ikan-ikan dan biota laut lainnya migrasi atau bahkan mati yang berujung kepada penurunan hasil tangkap nelayan. Ikan-ikan yang biasanya mendiami wilayah perairan tropis akan bermigrasi kearah kutub karena perluasan wilayah perairan tropis naiknya paras laut mengakibatkan menghilangnya beberapa terumbu karang dan luasan hutan kelp menurun, karena suhu air yang meningkat (HOBDAY et al., 2006). Belum lagi, kini nelayan dihadapkan pada kondisi cuaca ekstrem yang memaksa mereka untuk tidak melaut. Dari sejumlah masalah tersebut, nelayan, terutama nasib nelayan kecil semakin terhimpit.
Hasil penelitian tentang perubahan iklim dan keterkaitannya dengan sektor perikanan secara global, menunjukkan bahwa hasil tangkapann ikan di Indonesia akan menurun sekitar 15 hingga 30 persen. Berdasarkan terbitan yang dirilis oleh Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), tiga negara penghasil tuna terbesar dunia, Indonesia, Taiwan dan Jepang mengalami penurunan hasil tangkapan tuna antara tahun 1997 hingga 2010.
Pada tahun 2017, menurut data dari BPS, di Demak saja terdapat 3.846 orang yang profesi utamanya sebagai nelayan tangkap. Sebanyak 1.336 nelayan tangkap terpaksa harus menghentikan aktivitasnya di laut sejak Januari.
Hal berbeda terjadi pasca pandemi, situasi ekonomi yang sulit akibat dampak mewabahnya COVID-19 tak jarang membuat mereka terpaksa melaut. Akibatnya, banyak dari mereka yang dinyatakan hilang atau meregang nyawa karena terhempas ombak dan angin kencang.
Data dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menunjukan, terdapat 13 kali insiden kecelakaan di perairan Indonesia yang dialami kapal ikan dan perahu nelayan dengan jumlah korban mencapai 48 orang dalam kurun waktu 1 Desember 2020-10 Januari 2021. Dalam rentang waktu tersebut, sebanyak 28 korban dinyatakan hilang, 3 meninggal dan 17 dari mereka selamat.
Berbagai faktor seperti ketidakpastian cuaca, kondisi cuaca ekstrem, kenaikan suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST), naik turunnya harga bahan bakar serta perubahan arah angin, menurunkan tingkat produktivitas nelayan yang berujung kepada hasil tangkap yang menurun. Kesemua kondisi ini telah memposisikan nelayan kecil dalam ancaman kehilangan mata pencaharian mereka.
Di tengah dampak perubahan iklim yang semakin parah, nelayan kecil kini mesti berjibaku untuk lepas dari jurang kemiksinan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan jumlah rumah tangga perikanan tangkap secara drastis dari 2 juta di tahun 2000 menjadi 966 ribu di tahun 2016. Survey Sosio Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2017 bahkan menunjukkan nelayan sebagai salah satu profesi paling miskin di Indonesia.
Pertanyaannya, lantas apa jadinya jika kita para nelayan kecil ini memutuskan untuk berhenti melaut dalam waktu yang lama? Indonesia bisa saja mengalami penuruna produksi ikan yang signifikan dan berujung kepada berkurangnya pasokan pangan dari laut. Padahal, sejumlah panganan laut tersebut memiliki kandungan gizi dan protein yang sulit didapatkan dari hewan lain yang ada di darat. Skenario terburuk ini bisa saja tidak terjadi andai dampak dari laju perubahan iklim dapat dihentikan. Sayangnya, belum ada tanda-tanda bahwa masalah tersebut bisa diatasi dalam beberapa tahun ke depan.
Sumber:
http://repository.ub.ac.id/475/3/BAB%20II.pdf
https://statistik.kkp.go.id/home.php?m=nelayan&i=6#panel-footer
https://theconversation.com/nelayan-memang-miskin-tapi-riset-buktikan-mereka-tetap-bahagia-136496
http://indonesiabaik.id/infografis/mengenal-perubahan-iklim-faktor-dan-dampaknya
https://jurnal.unimed.ac.id/2012/index.php/geo/article/view/8083/6762
http://pusriskel.litbang.kkp.go.id
https://core.ac.uk/download/pdf/267081124.pdf
http://oseanografi.lipi.go.id/dokumen/oseana_xxxiii(2)25-32.pdf
https://www.mongabay.co.id/2019/02/12/nelayan-dan-masyarakat-pesisir-terdampak-perubahan-iklim/
https://www.mongabay.co.id/2019/02/12/nelayan-dan-masyarakat-pesisir-terdampak-perubahan-iklim/