Sembilan tahun jelang 2030. Waktu yang cukup singkat bagi Indonesia untuk bisa memenuhi target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Sebagaimana yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution/NDC, pada tahun 2030, Indonesia menargetkan untuk menurunkan emisi GRK hingga 29 % dengan upaya sendiri, dan 41% dengan dukungan internasional. Sebelum batas waktu tersebut tiba, Indonesia harus mampu memaksimalkan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Sektor kelautan mulai menjadi perhatian dunia dalam upaya penanganan perubahan iklim global sejak tahun 2009 ketika pertama kali konsep blue carbon diperkenalkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), Food and Agriculture Organization (FAO), dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Konsep ini mengacu pada kemampuan ekosistem laut dan pesisir yang meliputi mangrove, padang lamun, dan kawasan rawa payau dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Dengan luasan mangrove 3,2 juta hektar dan padang lamun 3 juta hektar, Indonesia mampu menyimpan karbon hingga 3,4 miliar metrik ton karbon (Pg C) atau setara dengan 17% cadangan blue carbon dunia (KLHK, 2017). Khusus untuk mangrove sendiri, studi mengungkap potensinya dalam menyimpan lima kali lebih banyak karbon per hektar dibanding hutan terrestrial (CIFOR, 2015).
Dinamika Kebijakan Terkait Mangrove
Upaya Indonesia dalam mengelola ekosistem blue carbon khususnya mangrove diwujudkan melalui sejumlah kebijakan. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional. Sebagaimana yang tertuang dalam regulasi tersebut, rehabilitasi mangrove nasional ditargetkan hingga 3,49 juta ha pada tahun 2045. Peraturan ini sebenarnya merupakan realisasi dari apa yang sebelumnya dimandatkan dalam Peraturan Presiden RI No.73/2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Regulasi ini mengatur tentang pembentukan Tim Koordinasi Nasional (TKN) Pengelolaan Mangrove yang juga menjadi payung terbentuknya Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) di sejumlah provinsi. Namun sejak diterbitkannya Perpres Nomor 82 tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, TKN Pengelolaan Mangrove termasuk dalam salah satu lembaga yang dibubarkan.
Walau pembubaran tersebut disayangkan, langkah pemerintah untuk menambah tugas baru Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mempercepat rehabilitasi mangrove, agaknya menjadi angin segar untuk mengisi kekosongan dalam aspek kelembagaan. Dengan penambahan tugas ini, mulai penghujung tahun 2020 lalu, BRG berubah menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Restorasi mangrove akan diprioritaskan di 9 provinsi yang mencakup Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat dengan target 600.000 ha baik mangrove di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Sementara dalam konteks pembangunan, prioritas pemerintah terhadap blue carbon direalisasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Blue carbon termasuk dalam salah satu dari lima strategi dalam mencapai pembangunan rendah karbon selain pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, pengelolaan limbah, serta pembangunan industri hijau. Strategi ini juga tertuang dalam Rencana Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) yang kemudian diterjemahkan oleh pemerintah provinsi ke dalam Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD).
Perkembangan terbaru lainnya, saat ini pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Presiden tentang nilai ekonomi karbon. Menurut siaran pers KLHK, Perpres ini nantinya akan mencakup mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan pajak atas karbon, upaya pencapaian target NDC yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, serta pembentukan instrumen pengendalian dan pengawasan.
Program Restorasi Perlu Diiringi dengan Konservasi
Pada lingkup implementasi, program nasional untuk mangrove yang sedang menjadi prioritas saat ini adalah mega proyek rehabilitasi mangrove yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dan diimplementasikan oleh BRGM. Program ini ditujukan untuk mendukung target BRGM merehabilitasi 600.000 hektar mangrove pada tahun 2024.
Terkait dengan target ambisius tersebut, Direktur Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Conservation International (CI), Barakalla Robyn menekankan pentingnya untuk juga memfokuskan pada upaya konservasi. Di Papua dan Papua Barat dimana sebagian besar mangrovenya masih dalam keadaan baik, konservasi mangrove perlu lebih diprioritaskan. Saat ini Barakalla bersama CI sedang melakukan cost-benefit analysis untuk membandingkan kegiatan restorasi dan konservasi. Harapannya, studi ini bisa memberikan referensi ilmiah dan finansial bagi pemerintah dalam merancang prioritas program pengelolaan mangrove ke depan.
“Sebenarnya yang kami lakukan sederhana. Analisis ini adalah untuk menghitung biaya investasi yang diperlukan untuk program restorasi dan program konservasi, lalu membandingkan manfaat yang akan dicapai dari kedua program tersebut. Yang perlu menjadi prioritas adalah membangun model ekonomi lokal dulu agar masyarakat tidak perlu lagi menebang mangrove. Hentikan deforestasinya, sementara restorasi juga tetap berjalan. Di wilayah timur, kita perlu fokus dulu di konservasi,” imbuhnya.
Senada dengan Bara, hasil studi Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan juga menekankan pentingnya konservasi. Kajian tersebut membandingkan potensi penurunan emisi pada dua skenario: aksi mitigasi yang hanya penanaman mangrove (skenario 1) dan aksi yang menggabungkan penanaman dan konservasi (skenario 2). Hasilnya, skenario 1 hanya mampu menurunkan emisi sebesar 5,99% pada tahun 2030. Sementara skenario 2 diperkirakan mampu memangkas emisi hingga 57,93% di tahun yang sama (Novi Susetyo Adi, dkk, 2020).
Mensinergikan Program di Tingkat Tapak
Selain cakupan program, Bara juga mengemukakan pentingnya mensinergikan kegiatan di tapak dengan prioritas dan inisiatif nasional. Menurutnya, kegiatan konservasi dan restorasi mangrove sudah banyak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun, kegiatan-kegiatan di tingkat tapak masih belum seluruhnya terdokumentasikan di lingkup nasional sebagai bagian dari proses pemantauan dan evaluasi.
“Di sini peran pemerintah daerah di kabupaten dan provinsi perlu dioptimalkan. Pemantauan dan evaluasi yang didukung oleh data baseline yang solid penting untuk memastikan dampaknya dapat terukur, sehingga terbukti apa yang dilakukan di tapak mampu mendukung komitmen nasional dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” ungkap Bara.
Mau berbagi cerita juga? Yuk daftarkan komunitas-mu ke dalam jaringan Penjaga Laut