Inilah Para Penjaga Laut Indonesia….
Februari 22, 2021Pantai Berpasir, Saksi Berbagai Keindahan yang Terancam Jadi Kenangan
Februari 25, 2021Sayung, sebuah kecamatan di Kabupaten Demak yang berjarak kurang dari 20 Km dari Kota Semarang tampaknya adalah tempat tujuan yang ideal bagi mereka yang menganggap krisis iklim hanya isapan jempol belaka.
Dahulu, Sayung laiknya daerah lain di sekitarnya, merupakan kawasan tempat tinggal penduduk. Sebagian besar warga bermata pencaharian petani, sebab sawah subur dulu memang terhampar di Sayung. Akses keluar-masuk desa pun baik, jalan cukup lebar untuk dilalui kendaraan roda empat, dan tiap pagi anak-anak berangkat ke sekolah nyaris tanpa kendala.
Namun, sejak 1995, banjir rob mulai melanda Sayung. Lahan persawahan terendam, dan tanaman padi membusuk. Lantai rumah dimana warga biasa duduk bersama dan saling bercengkerama pun tergenang. Jalan-jalan desa terendam, akses keluar-masuk desa menjadi persoalan. Bencana panjang dimulai.
Tak Kunjung Surut, Justru Semakin Larut
Tahun demi tahun berganti, namun banjir rob tak berhenti. Berbagai hal disebut sebagai penyebabnya, namun kenaikan muka air laut tentu tak dapat diabaikan. Laju kenaikan muka air laut di area Sayung mencapai 8,294 cm/tahun[1], angka yang cukup tinggi untuk mengusir warga dari rumahnya.
Tahun 2006, atau sekitar satu dekade setelah banjir rob mulai melanda Sayung, luapan air laut semakin memburuk dan memaksa 250 kepala keluarga meninggalkan rumahnya di Dusun Rejosari Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung. Rumah yang menjadi tempat mereka menjalani hidup selama puluhan tahun harus ditinggalkan bersama dengan rutinitas kehidupan yang berlangsung di sana. Rejosari Senik menjadi dusun yang ditinggalkan, hanya nampak rumah-rumah tua dan tempat ibadah yang terabaikan dan terus melapuk tergenang air laut.
Rejosari Senik bukan yang terakhir, bencana ini masih terus meluas. Dikutip dari BBC News Indonesia (2015), luas kawasan Sayung yang terkena erosi mencapai 2.116,54 ha, dan menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5,1 km dari garis pantai di tahun 1994 lalu.[2] Kemudian, pertengahan tahun lalu, tetangga Rejosari Senik, Dukuh Mondoliko juga mengalami hal serupa. Jalan keluar-masuk area pemukiman warga terendam air laut setinggi 30-60 cm, 570 warga Dukuh Mondoliko pun terisolir.
Kini, di 2021, 26 tahun setelah banjir rob pertama melanda area Sayung, warga masih menghadapi persoalan yang sama bahkan dalam skala yang lebih luas. Bulan ini beberapa desa di Sayung kembali diterjang banjir rob dengan ketinggian 40 cm hingga 1,5 meter. 3.200 kepala keluarga (KK) atau 10.300 penduduk terdampak banjir. Peta proyeksi kawasan di bawah permukaan air laut tahun 2050 dalam Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2020 pun menunjukan banjir rob di area Sayung akan jauh lebih luas di masa depan.
Tak ada undo button dalam bencana ini. Sayung adalah satu dari sekian banyak desa pesisir di Indonesia yang terancam kenaikan permukaan air laut dan abrasi akibat krisis iklim. Ratusan penduduk Sayung telah mengungsi, sedangkan jutaan masyarakat pesisir di Indonesia kini tengah menghadapi ancaman serupa. Saatnya kita bergerak bersama, menurunkan emisi karbon penyebab pemanasan global, dan menjaga laut Indonesia.
Sumber :
[1]https://www.neliti.com/publications/190275/studi-perubahan-garis-pantai-akibat-kenaikan-muka-air-laut-di-kecamatan-sayung-k
[2] https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/12/151212_indonesia_demak_abrasi