Bagi banyak orang Indonesia, ketika membicarakan emansipasi perempuan tentu akan menyebut nama R.A Kartini sebagai salah satu pejuangnya. Lahir sebagai anak perempuan bangsawan kala itu, Kartini dibuat resah dengan adat feodal yang menindas perempuan. ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ adalah kumpulan korespondesi Kartini dengan sahabat penanya dari negeri kincir angin nun jauh di sana.
“Seorang guru bukan hanya sebagai pengasah pikiran saja, melainkan juga sebagai pendidik budi pekerti,” tulis Kartini dalam korespondensi dengan sahabat penanya, JH Abendanon.
Menurut Kartini, seorang guru tidak hanya berkewajiban untuk mengasah akal dan pikiran saja—seuatu yang bersifat logis—tapi ia juga harus mendidik muridnya agar memiliki moral dan etika yang ‘luhur’. Peran ‘guru’ seperti inilah yang menurut Kartini telah dilakukan oleh perempuan selama ini. Sebab, sebagai seorang perempuan dan Ibu dalam sebuah keluarga, mendidik anak-anaknya untuk mempunyai budi pekerti adalah penting.
Perempuan memiliki peran besar dalam lingkup sosial dan di ranah keluarga. Seorang Ibu misalnya—selain sebagai sosok pertama bagi anak-anaknya untuk memahami arti kehidupan—sosok Ibu juga mesti pandai dalam mengatur ekonomi dan memastikan asupan gizi bagi anggota keluarganya. Namun, meski memiliki peran yang sangat krusial, perempuan seringkali dianggap sebelah mata.
Seperti yang terjadi di zaman ketika Kartini hidup. Pernikahan paksa, poligami dan larangan-larangan lain di era kolonial, membuat perempuan seringkali tidak memiliki kuasa untuk menentukan nasibnya. Perempuan seringkali dianggap sebagai yang ‘lemah’ dan ‘tak berdaya’.
Kini, telah 117 tahun sejak Kartini pergi, dan 71 tahun sejak belanda angkat kaki. Bagaimana nasib perempuan kini?
Masnuah, Sekretaris Jenderal Persatuan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), mengatakan perempuan pesisir memiliki peran yang sangat penting. Selain mempersiapkan kebutuhan melaut untuk suaminya, mengolah dan memasakarkan hasil tangkapan, ada sebagian dari mereka yang juga ikut melaut. Tugas-tugas yang dilakukan oleh perempuan di pesisir ini menandakan bahwa mereka memiliki peran krusial untuk menjaga roda perekomian di pesisir tetap bergulir.
Namun, Masnuah menambahkan, peran yang krusial ini belum diakui oleh pemerintah. Padahal perempuan pesisir sangat membutuhkan akses untuk mengurusi kegiatan produksinya.
“Banyak sekali perempuan nelayan yang pergi melaut namun tidak bisa mendapatkan kartu nelayan. Kemudian, perempuan nelayan yang terlibat pada pra dan pasca produksi, juga mengalami kesulitan mendapatkan akses permodalan ke perbankan nasional,” Ujar Masnuah. Perlu diketahui oleh para penjaga laut, Perempuan nelayan harus menghabiskan waktu di atas kapal selama 17 Jam untuk menangkap ikan, lho.
Namun, keterbatasan akses yang disebabkan oleh belum adanya pengakuan dari pemerintah, tak lantas membuat para perempuan pesisir ini meyerah dengan kondisinya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Kartini kala lingkungan memaksanya untuk menyerah, ia justru tak patah arang dan terus mewujudkan mimpinya. Sebagaimana yang ia tulis dalam suratanya kepada JH Abendanon berikut ini:
“Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama bekerja mengubah keadaan yang tak terderita ini.”
Semangat itulah yang barangkali terwarisi pada perempuan di Pulau Barrang Caddi, Makassar, Sulawesi Selatan. Ketika hasil laut tak semenjanjikan seperti dulu, mereka mengambil inisiatif untuk membuat perekonomian keluarga tetap stabil. Dengan modal seadanya, pada tahun 2014 mereka berinisiatif untuk menjajakan kue-kue tradisional dan produk dari hasil olahan laut seperti abon ikan, tumpi-tumpi, otak-otak, kerupuk ikan, dan beragam makanan olahan lainnya.
Salah satunya adalah Hayati yang merupakan bendahara di kelompok ibu-ibu pesisir di Pulau Barang Caddi. Hayati bercerita pengalamannya sebagai bendahara di kelompok mawar 2 ternyata memiliki kontribusi dalam membantu ekonomi keluarga saat hasil laut sulit didapatkan akibat musim paceklik atau cuaca tak mendukung.
“Sekarang nelayan bisa mati andai kami perempuan tidak kerja bantu-bantu. Karena turun melaut juga kadang tidak ada hasil. Bahkan untuk sekedar mancing, pernah tak dapat ikan sama sekali. Sekarang kita harus berhitung jika ingin turun ke laut. Biayanya bisa lebih mahal karena harus beli bensin dan pancing. Belum lagi ongkos makanan selama melaut. Di sisi lain jika tak melaut maka tak ada penghasilan sama sekali,” katanya.
Pengalaman Hayati dan perempuan lain di pesisir lainnya telah menunjukan kepada kita, bahwa peran penting perempuan masih perlu diperjuangkan untuk dapat diakui oleh pemerintah. Meski begitu, sejak 117 tahun Kartini pergi, banyak muncul sosok-sosok perempuan luar biasa yang akan terus berjuang dan tak akan pernah menyerah dengan keadaan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Mengutip kartini: “Tidak menjadi soal bagaimana caranya mengabdi kepada kebaikan, asalkan baik saja”.
Sumber:
https://maritim.go.id/perempuan-pesisir-berjuang-menjaga-ekosistem/
https://tirto.id/sejarah-hari-kartini-21-april-dan-catatan-pemikirannya-ePG3
Mau berbagi cerita juga? Yuk daftarkan komunitas-mu ke dalam jaringan Penjaga Laut