Ada Lumbung Ikan Nasional di Maluku
Agustus 6, 2021Akankah Jakarta Tenggelam Beberapa Tahun Lagi?
Agustus 12, 2021Sebagai salah satu negara yang termasuk dalam Kawasan Segitiga Terumbu Karang atau the Coral Triangle, tak heran jika Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terumbu karang yang kaya. Menurut data LIPI, perairan Indonesia memiliki kurang lebih 500 species terumbu karang. Kondisi ini juga serta merta berpengaruh terhadap ragam species yang hidup di sekitar terumbu karang, salah satunya adalah hiu berjalan. Perairan Kaimana, Papua Barat adalah salah satu lokasi favorit hiu berjalan untuk berdiam dan berkembang biak.
Jika umumnya hiu menggunakan sirip untuk berenang, lain halnya dengan hiu berjalan yang bergerak dengan berjalan atau merangkak di dasar laut. Hiu berjalan umumnya tinggal di perairan dangkal dan umumnya baru bergerak pada malam hari untuk mencari makan dengan berburu udang, kepiting, ikan kecil atau hewan moluska (hewan lunak) seperti cumi-cumi, siput dan lain-lain.
Berdasarkan data Conservation International (CI), lima dari sembilan spesies hiu berjalan ada di perairan Indonesia dan empat diantaranya adalah spesies endemik. Empat spesies hiu berjalan yang hanya ditemukan di perairan Indonesia adalah hiu berjalan Raja Ampat (Hemiscyllium freycineti), hiu berjalan Teluk Cendrawasih (H. galei), hiu berjalan Halmahera (H. halmahera), dan hiu berjalan Teluk Triton Kaimana (H. henryi).
Pemuda asli Kaimana, Alfredo Jackson Asmoro, yang baru saja menyelesaikan studi S1nya di Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan, Universitas Negeri Papua (UNIPA), menuturkan pengalamannya meneliti hiu berjalan di Kaimana. Minimnya data mengenai keberadaan hiu berjalan di Kaimana mendorong Edo, demikian ia biasa disapa, untuk meneliti spesies endemik tersebut sebagai tugas akhirnya. Selama April hingga Juli 2020, Edo melakukan pengumpulan data di dua lokasi yaitu Teluk Triton dan Teluk Bicari. Awalnya ia hanya melakukan observasi di Teluk Triton dan menemukan 1 ekor hiu berjalan yang ukurannya relatif besar yaitu mencapai 82 cm. Setelah berdiskusi dengan masyarakat setempat, Edo memperoleh informasi jika di Teluk Bicari, hiu berjalan juga kerap terlihat. Lokasi penelitian pun bertambah.Di Teluk Bicari yang letaknya lebih dekat dengan kota, dalam 2 hari, Edo menemukan 4 ekor hiu berjalan.
Dalam bahasa lokal di Kaimana, hiu berjalan disebut Mangiwang bodo. Mangiwang berarti ‘’hiu’’ dan bodo artinya ‘’ bodoh atau tolol’.’ Julukan ini diberikan karena saat masyarakat menemukannya bersembunyi di balik karang, spesies ini tidak seketika menghindar dengan cepat, tetapi hanya berjalan pelan. Di dua tempat penelitian Edo, pola pemanfaatan masyarakat terhadap hiu berjalan jauh berbeda. Di Teluk Triton, karena hiu berjalan merupakan salah satu icon atraksi wisata, masyarakat lokal memiliki kepedulian yang tinggi untuk melindungi keberadaannya. Sementara di Teluk Bicari, masyarakat lokal masih menangkap hiu berjalan untuk konsumsi terutama jika tangkapan ikan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Edo juga menjelaskan bahwa hiu berjalan ini juga kerap menjadi tangkapan sampingan saat masyarakat menebar jaring untuk menangkap ikan.
“Tidak semuanya mengonsumsi, hanya beberapa warga di Teluk Bicari saja. Hiu berjalan ini biasanya dibakar. Dagingnya untuk dimakan, lalu kulitnya dijemur untuk digunakan sebagai alat pengasah parang atau pisau. Jadi seperti amplas begitu,” jelas Edo.
Walau praktik penangkapan hiu berjalan untuk konsumsi tidak masif terjadi, Edo merasa perlu untuk memulai kegiatan kampanye untuk mempromosikan konservasi hiu berjalan. Berdasarkan keterangan warga, jika dibandingkan 5 tahun sebelumnya, hiu berjalan semakin jarang ditemui di perairan Kaimana. Menurut CI, naiknya suhu muka air laut, gelombang tinggi atau tsunami, reklamasi pantai untuk pembangunan maupun aktivitas pariwisata yang tidak berkelanjutan adalah ancaman lain yang berdampak terhadap kelestarian hiu berjalan. Spesies nokturnal ini sangat bergantung pada terumbu karang untuk hidup dan berkembang biak. Jika terumbu karang rusak, maka kehidupannya pun juga akan terancam.
“Selama ini belum ada aturan yang mengatur untuk perlindungan hiu berjalan. Saya rasa perlu ada aturan adat dan aturan Pemda agar perlindungan hiu berjalan ini menjadi perhatian dan komitmen bersama. Pemanfaatan hiu berjalan sebagai atraksi pariwisata juga perlu diatur agar sejalan dengan prinsip konservasi,” ungkap Edo.
Edo yang juga alumni School of Eco Diplomacy Yayasan Econusa menuturkan rencana kegiatannya di Kampung Marsi, Teluk Bicari. Setelah pembatasan sosial dilonggarkan, Edo dan tim relawan akan melakukan penyuluhan untuk mengkampanyekan perlindungan hiu berjalan dengan menggandeng beberapa sekolah, kelompok anak muda, dan aparat kampung setempat sebagai mitra kampanye.
“Kami akan mendatangi sekolah-sekolah untuk menyampaikan edukasi mengenai hiu berjalan, apa dampak yang terjadi jika hiu berjalan ini kelestariannya terganggu. Penting juga untuk memberikan pemahaman pemanfaatan hiu berjalan sebagai pariwisata. Di Kaimana ada wisata kolam sisir yang selalu ramai pengunjung setiap akhir pekan. Ini juga bisa menjadi salah satu lokasi kampanye. Wisatawan perlu diedukasi agar tidak menginjak karang dan tidak menangkap spesies-spesies yang dilindungi termasuk hiu berjalan,” pungkas Edo.
Kepedulian Edo terhadap perlindungan hiu berjalan semakin relevan jika kita berkaca pada status kerentanan terkini spesies ini yang dirilis Badan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) awal Desember 2020 lalu. IUCN memperbarui status 3 spesies endemik hiu berjalan di wilayah timur perairan Indonesia. Status Hemiscyllium halmahera atau hiu berjalan Halmahera berubah dari “belum ada data” (data deficient) menjadi “hampir terancam” (near threatened). Sementara, dua spesies hiu berjalan lainnya, yaitu Hemiscyllium henryi (hiu berjalan di Teluk Triton Kaimana) dan Hemiscyllium galei (hiu berjalan Teluk Cenderawasih) statusnya berubah menjadi “rentan” (vulnerable) dari yang sebelumnya “kurang data” (data deficient) pada 2012.