Urgensi Rehabilitasi Mangrove Indonesia Yang Kian Kritis
Mei 29, 2021Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2021: Bagaimana Perubahan Iklim Menyebabkan Krisis Ruang Hidup di Pesisir Indonesia
Juni 5, 2021Penjaga laut, sederet julukan telah disematkan pada hamparan kekayaan alam di negeri kepulauan ini. Dari, “Indonesia yang kaya akan mangrove”, “Indonesia surga bagi keanekaragaman mangrove”, hingga “Negara dengan luasan mangrove tertinggi di dunia”. Namun, apa artinya jika lahan mangrove di Indonesia belakangan ini sedang dalam kondisi yang menghkawatirkan akibat alih fungsi lahan?
Dengan sebaran mangrove yang hampir ditemukan disepanjang pantai dengan panjang sebesar 95,181 km2, Indonesia memiliki hamparan mangrove terluas dengan total 3.489.140,68 Ha (KKP, 2015). Jumlah ini setara dengan 23% ekosistem mangrove dunia yaitu dari total luas 16.530.000 Ha. Sayangnya, jumlah luasan mangrove yang dimiliki Indonesia, tidak semuanya dalam kondisi baik. Data yang dirilis KKP pada tahun 2017 menunjukan 19% dari total keseluruhan mangrove yang ada, atau setara dengan 637.000 ha, kini dalam kondisi kritis. Penyebabnya adalah degradasi ekosistem pesisir akibat laju alih fungsi lahan pesisir untuk tambak dan peluasan kebun sawit.
Pengalihan fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Di beberapa daerah di Indonesia, alih fungsi lahan ini tak hanya menyebabkan kerusakan mangrove secara tidak langsung akibat degradasi ekosistem pesisir, tetapi juga secara langsung menghilangkan hutan-hutan mangrove yang ada.
Menurut Rio Ahmad, dari MAP (Mangrove Action Project) Indonesia, sesuai data BPK, dari luasan hutan mangrove dari Sabang sampai Merauke, sejumlah 85% dari total luasan lahan tersebut rusak. Sulawesi Selatan menjadi wilayah yang paling banyak menyumbangkan angka degradasi mangrove cukup besar. Padahal, dari data Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal) Sulawesi Selatan, wilayah ini pernah memiliki hutan mangrove seluas 214.000 ha dan kini hanya tersisa 23.000 ha.
Penyebab dari hilangnya sejumlah hektar lahan tersebut diakibatkan karena alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak. Keberadaan tambak ini tak hanya ‘menggusur’ lahan mangrove yang ada, tetapi juga pengelolaannya berdampak kepada kondisi ekosistem pesisir. Dari tambak 109.452 hektar di Sulawesi Selatan, 95% dikelola tidak ramah lingkungan dan justru menurunkan kualitas tanah di wilayah tersebut.
Semenatara itu di wilayah lain di Indonesia, sepanjang pesisir pantai dari Sumatera Utara hingga Aceh, sejak 1989-2018, presentase kehilangan hutan mangrove akibat alih fungsi mencapai 65%. Menurut, Onrizal, pakar lingkungan hidup Universitas Sumatera Utara, hilangnya sejumlah lahan tersebut disebabkan karena alih fungsi hutan mangrove untuk kebutuhan tambak dan peluasan perkebunan sawit. Perkebunan sawit menjadi penyumbang terbesar dari hilangnya hutan mangrove di sepanjang pesisir tersebut.
Kerusakan cukup besar, tercatat terjadi di sejumlah wilayah diantaranya Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Batubara, Kota Tanjung Balai, Kota Sibolga, dan Kabupaten Nias. Rata-rata kerusakan yang terjadi di sejumlah wilayah tersebut mencapai 1.000-4.000 hektar. Di Kabupaten Serdang Bedagai, rata-rata kerusakan bahkan mencapai 3.700 hektar. Di kabupaten pemekaran ini, bahkan penanaman pohon sawit, masih di batas bibir pantai. Padahal, sesuai aturan, seharusnya jarak 300 meter dari bibir pantai, hanya boleh diperuntukan untuk hutan mangrove.
Alih fungsi lahan mangrove memiliki dampak serius terhadap ekosistem pesisir. Beberapa dampak tersebut diantaranya (1) Perubahan struktur ekosistem, sehingga menurunnya fungsi ekologis; (2) Penurunan keanekaragaman hayati akibat menurunnya fungsi daerah pemijahan, pengasuhan dan mencari makanan; (3) Perubahan salinitas akibat pengalihan atau penurunan aliran dan limpasan air tawar dan air laut; (4) Kematian vegetasi mangrove akibat terlapisnya atau tertutupnya pneumatophora atau lentisel oleh bahan pencemar padat. Keseluruhan dampak tersebut tak hanya berujung kepada menurunnya pendapatan masyarakat pesisir tetapi dapat menimbulkan bencana ekologis seperti abrasi hingga kenaikan muka air laut.
Penjaga laut, perihal alih fungsi lahan untuk pemanfaatan sumber daya pesisir sebetulnya telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 2014 Tentang PWP3K (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). UU ini juga mencakup Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Sesuai arahan pemerintah pusat, setiap provinsi wajib menuangkan rencana tersebut ke dalam perdanya masing-masing sebagai acuan setiap provinsi dalam mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk pengelolaan sumber daya perikanan. Aturan ini sangat krusial, sebab menjadi dasar izin lokasi dan izin pengelolaan kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pada 18 Maret 2019 Provinsi Sumatera Utara sebetulnya telah menerbitkan Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil Provinsi Sumatera Utara. Namun pada praktiknya, aturan ini masih menyisakan masalah. Dalam pernyataan sikapnya, Aliansi Nelayan Sumatera Utara mengatakan, alokasi ruang laut yang disusun berbanding terbalik dengan keinginan masyarakat pesisir.
Tak hanya tidak menempatkan nelayan tradisional sebagai subyek penting dalam pemanfaatan sumber daya pesisir, RZW3K Sumut juga menempatkan wilayah pantai timur sebagai zonasi pertambangan yang berpotensi merusak ekosistem pesisir. Seperti yang terjadi di pesisir Pantai Labu yang menyebabkan abrasi sejauh 1,5 mil dari pantai. Pertambangan ini juga menyebabkan wilayah kelola masyarakat pesisir dan nelayan hilang, karena pasir yang dihisap itu merupakan rumah ikan.
Penjaga laut, dalam perkembangannya, alih fungsi lahan justru melenyapkan hutan-hutan mangrove dan apabila dalam implementasinya aturan tersebut justru menimbulkan masalah, kerusakan pesisir akan datang lebih besar dari yang kita bayangkan.
Sumber:
Suharsono. 2014. Biodiversitas Biota Laut Indonesia. Indonesian Institute of Sciences (LIPI) Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta.
https://www.researchgate.net/publication/323309341
Wasis. 2015. Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Vegetasi Dan Sifat Tanah Di Hutan Mangrove Kelurahan Galang Kecamatan Galang Kota Batam Provinsi Kepulauan Riau. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor, Jawa Barat
http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561
https://www.mongabay.co.id/2021/05/04/upaya-memulihkan-ekosistem-mangrove-yang-kritis/
https://www.mongabay.co.id/2020/07/30/hutan-mangrove-pelindung-yang-terancam-dan-terabaikan/
https://www.mongabay.co.id/2013/12/14/penelitian-hutan-mangrove-sumatera-utara-rusak-parah/
http://eprints.ums.ac.id/65811/4/BAB%20II.pdf
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/123929/perda-prov-sumatera-utara-no-4-tahun-2019