Penjaga laut, negeri kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini terkenal memiliki bermacam adat dan kebudayaan, termasuk kebisaan serta cara suku-suku di pesisir untuk memperoleh hasil tangkap. Bubu, sengirai, tangguk, serta berumbung adalah contoh alat tangkap tradisional milik masyarakat pesisir yang ramah lingkungan. Namun, semenjak penjajahan Jepang di Nusantara, yang memperkenalkan penggunaan alat tangkap berbahan peledak, penggunaan alat tangkap ramah lingkungan ini terus menerus tergerus.
Lida Pet Soede dan Mark V. Erdmann (dalam Ramenzoni, 2013:2) mengatakan masyarakat di Makassar, Sulawesi Selatan adalah yang pertamakali diperkenalkan dengan alat tangkap berbahan peledak oleh Jepang. Sebagai skema yang sangat efektif untuk mendapatkan hasil tangkapan yang besar, alat tangkap berbahan peledak menyebar dengan cepat di Nusantara. Ketika Soede dan Erdmann melakukan studi mereka di akhir 1990-an, pengeboman bertanggung jawab atas 10% hingga 40% dari tangkapan di Ujung Pandang, Sulawesi, salah satu pasar ikan terbesar di Indonesia.
Beberapa tahun setelahnya, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) mempublikasi sebuah temuan dan penanganan kasus destructive fishing di Indonesia Tahun 2013-2019 yang menyebutkan, aktifitas destructive fishing berupa pengeboman ikan hampir terjadi di semua provinsi di Indonesia. Dari 653 kasus yang ditemukan, Sulawesi Selatan, Sulawasi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Papua, Jawa Timur dan Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang paling rawan terjadi destructive fishing. Sementara itu, daerah yang paling sering terjadi pengeboman ikan adalah Sulawesi Selatan dengan jumlah 471 kasus dari tahun 2013-2019.
Menurut KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), destructive fishing adalah kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap/alat bantu penangkapan ikan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan. Terdapat tiga jenis aktivitas destructive fishing yang merusak ekosistem dan membunuh biota yang hidup di laut, diantaranya penangkapan ikan dengan penggunaan racun potas (cyanide fishsing), penangkapan ikan menggunakan bom (dynamite fishing) serta penangkapan ikan menggunakan setrum.
Perihal penangkapan ikan dengan penggunaan racun potas (cyanide fishsing), berdasarkan hasil pengawasan Ditjen PSDKP (Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan), beberapa nelayan lokal kerap memanfaatkan racun alami yang berasal dari daun dan akar tuba untuk bahan baku racun ikan. Bahan berbahaya lainnya yang dimanfaatkan yaitu insektisida dan yang paling banyak digunakan oleh nelayan adalah sodium sianida. Dari temuan dan penanganan kasus destructive fishing di Indonesia Tahun 2013-2019 oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) ditemukan 40 kasus pengggunaan racun untuk menangkap ikan.
Dari hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal PSDKP (Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan) menyimpulkan, penggunaan racun untuk menangkap ikan memiliki dampak yang lebih parah ketimbang bom ikan. Bahkan, pembiusan yang dilakukan untuk menangkap ikan hias memiliki dampak yang lebih besar dari pada pembiusan ikan terhadap ikan karang untuk konsumsi. Hal tersebut terjadi karena titik penyemprotan untuk mendapatkan ikan hias memperhatikan arus air sehingga racun lebih banyak mengenai bagian tubuh karang.
Sementara itu, untuk kasus penangkapan ikan menggunakan bom (dynamite fishing) sepanjang 2013-2019 KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) menemukan 529 kasus yang terjadi di seluruh Indonesia. Banyak dari para pelaku tersebut adalah nelayan kecil yang menggunakan bom hasil rakitan. Bom ini terdiri dari dari sumbu, pupuk, dan botol bir atau soda. Padahal penggunaan bom ikan dapat menghasilkan daya ledak yang mampu merusak dan menghancurkan terumbu karang, dan bahkan dapat membahayakan keselamatan jiwa pelempar bom ikan.
Data dari World Bank (1996) menyatakan kapasitas bom seberat 2000 gram pada praktek pemboman ikan dapat menghancurkan lebih kurang 12.56 meter persegi karang. Lebih lanjut, McManus et al (1997) dan Pet-Soede & Erdman (1998) menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang akibat bom ikan dapat mencapai 0,5 – 2 meter per 1 kg bom ikan.
Penggunaan setrum juga memiliki dampak area kerusakan seperti penangkapan ikan menggunakan bom. Namun, pada alat ini, anakan ikan yang sebetulnya bukan target utama ikut terdampak. Selain menimbulkan efek kejut sehingga ikan target menjadi pingsan atau bahkan mati, anakan ikan yang berada dalam radius sengatan listrik yang merambat lewat kolom air seringkali terbunuh. Sehingga dapat merusak keberlanjutan populasi ikan di area tersebut. Dari temuan dan penanganan kasus destructive fishing di Indonesia Tahun 2013-2019 oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) ditemukan 77 kasus penangkapan ikan menggunakan setrum di seluruh Indonesia.
Praktik destructive fishing memang umum ditemui di perairan yang memiliki terumbu karang dan negara tropis seperti di Indonesia. Dengan jumlah populasi masyarakat yang tinggi dengan tekanan ekonomi yang memicu timbulnya keputusasaan di kalangan nelayan (Saila et al, dalam KKP, 2020:16), destructive fishing acapkali dipilih nelayan untuk mendapatkan hasil tangkap lebih banyak demi meraup keuntungan. Hal tersebut tak lepas dari kondisi nelayan di Indonesia yang mayoritasnya berada dalam jurang kemiskinan. Menurut data dari SUSESNAS (Survey Sosio Ekonomi Nasional) tahun 2017, nelayan merupakan salah satu profesi yang paling miskin di Indonesia.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ramenzoni di tahun 2013 tentang aktivitas Destructive Fishing di Ende, Flores menunjukan, faktor kemiskinan menjadi latar belakang maraknya aktivitas penangkapan ikan yang merusak lingkungan di sana. Kurangnya kesempatan kerja, tidak memadainya program bantuan yang lebih menekankan intensifikasi, ketidakpastian ekonomi, dan korupsi serta degradasi lingkungan menyebabkan 40% penduduk Ende hidup dalam kemiskinan. Ende terletak di salah satu daerah termiskin di Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut statistik lokal di tingkat provinsi, kemiskinan mencapai 20%, dengan garis kemiskinan sekitar Rp. 222.507 (BPS NTT, dalam Ramenzoni, 2013:4). Kondisi ini berbanding terbalik dengan fakta bahwa Laut di Flores cukup kaya dengan keragaman biotanya terutama tuna (Scombridae Famili), (marlinIstiriophoridae Famili) dan cetacea (Weber dalam Ramenzoni 2013:5).
Lalu apa yang menyebabkan para nelayan di Ende dan pesisir lainnya di Indonesia miskin sehingga memilih destructive fishing sebagai solusi satu-satunya?
Dalam KEPMEN KKP (Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia) Tentang Pedoman Rencana Aksi Nasional Pengawasan dan Penanggulangan Kegiatan Penangkapan Ikan Yang Merusak (Destructive Fishing) Tahun 2019-2023, disebutkan bahwa finimnya fasilitas menjadi salah satu faktor penyebab destructive fishing. Di Ende, Flores, misalnya dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia seperti Kalimantan atau Jawa, kemajuan program pembangunan di sana lebih lambat (Resosudarmo dan Jotzo dalam Ramenzoi, 2013:4). Di Ende, penangkapan ikan masih dilakukan dengan perahu tradisional (sampan) atau perahu motor yang lebih kecil dengan jaring ikan berukuran 4 hingga 1 inci. Tak ada industri perikanan dan juga investasi ekternal untuk mendukung peningkatan alat tangkap, sebagian besar kegiatan di sana adalah untuk kebutuhan subsisten atau perdagangan kecil.
Kondisi lebih parah bahkan melanda beberapa wilayah. Nelayan terjerat hutang pada punggawa/juragan sehingga memicu untuk mendapatkan hasil tangkapan dengan cara yang cepat diantaranya dengan bom atau racun ikan. Sebagian besar nelayan pengebom ikan tidak memiliki perahu, alat tangkap maupun modal untuk melaut sehingga mengandalkan pinjaman dari Pemilik modal (Punggawa). Sebagai timbal balik, nelayan akan membayar pinjaman dengan cara menjual hasil tangkapannya kepada Punggawa.
Hal ini juga dipicu oleh ketidakpahaman pelaku akan dampak negatif destructive fishing terhadap kesehatan manusia, serta kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Belum lagi, minimnya keterampilan sebagian nelayan dalam menggunakan alat tangkap sehingga mendorong mereka untuk menangkap ikan dengan cara yang mudah yaitu menggunakan bom dan racun ikan.
Ancaman kerusakan ekosistem laut semakin nyata dan tak terbendung apabila praktik ini terus berlanjut. Masyarakat pesisir dan mereka yang menggantungkan hidupnya pada kekayaan laut dipastikan juga ikut terdampak. Dibutuhkan sebuah langkah nyata untuk memutuskan praktik-praktik destructive fishing di Indonesia, yang tak hanya proaktif dengan membuat jera tetapi juga preventif dengan membangun kesadaran serta memfasilitasi nelayan kecil untuk lepas dari jurang kemiskinan. Selebihnya adalah upaya masyarakat lainnya untuk terlibat dalam memutus praktik destructive fishing ini. Nah penjaga laut, apakah kamu telah siap untuk ikut berkontribusi memerangi destructive fishing?
Sumber:
https://repository.unsri.ac.id/23148/1/Jenis-Jenis_Alat_Tangkap_Ikan_Tradisiona.pdf
https://theconversation.com/nelayan-memang-miskin-tapi-riset-buktikan-mereka-tetap-bahagia-136496
http://jdih.kkp.go.id/peraturan/0db64-114-kepmen-kp-sj-2019-ttg-ran-pengawasan…2019-2023.pdf
https://kkp.go.id/djpsdkp/infografis-detail/902-apa-itu-destructive-fishing
http://jdih.kkp.go.id/bahanrapat/bahanrapat_03072019100923.pdf
http://jdih.kkp.go.id/bahanrapat/bahanrapat_03072019100923.pdf
Mau berbagi cerita juga? Yuk daftarkan komunitas-mu ke dalam jaringan Penjaga Laut