117 Tahun Sejak Kartini Pergi: Bagaimana Nasib Perempuan Pesisir?
April 21, 2021Nelayan Kecil Kita Untuk Perikanan Yang Berkelanjutan
April 25, 2021Laju kerusakan lingkungan yang terus terjadi mendorong banyak orang ikut bersikap untuk memulihkan Bumi. Tercatat 20 juta orang di Amerika Serikat melangsungkan protes terkait kerusakan yang terjadi pada planet tempat tinggal mereka, pada 1970an. Puluhan tahun setelahnya sejak pertama kali protes tersebut diperingati sebagai Hari Bumi, apa yang terjadi pada Bumi khususnya ekosistem pesisir di Indonesia?
Sebanyak 70% permukaan Bumi ditutupi lautan yang menjadikan laut sebagai jantung kehidupan di planet ini. Kekayaan yang tersimpan di balik gelombang ombak dan terumbu karang telah menjadikan 50%-70% penduduk di Bumi tinggal di pesisir dan menggantungkan hidupnya pada laut. Di Indonesia, dengan wilayah perairan seluas 6.315.222 km², Badan Pusat Statistik Indonesia 2015 mencatat terdapat 2.165 ribu nelayan yang tersebar di seluruh provinsinya. Dari jumlah tersebut, 10 juta orang bergantung nasibnya pada hasil laut dan pesisir. Sejumlah orang tersebut kini sedang terancam hidupnya akibat kondisi pesisir yang ‘sakit’.
Banyak pihak telah menyatakan kekhawatiran mereka terkait bencana yang menanti beberapa tahun mendatang akibat perubahan iklim dan pencemaran limbah industri. Laporan PBB pada Oktober 2018 menyatakan, kalau tak ada tindakan luar biasa, bencana akan tiba pada 2040. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, selama 2018, sampai Oktober terdapat 1999 bencana yang didominasi bencana hidrometeorologi.
Pembangunan ekstraktif dan eksploitatif seperti reklamasi dan pertambangan telah mengancam hutan mangrove di sepanjang 95.000 km pesisir Indonesia yang menjadi salah satu faktor munculnya bencana hidrometeorologi. Tahun 2014, luasan mangrove di Indonesia masih pada angka 4,4 juta hektar. Setahun berselang, pada 2017 biota yang berfungsi menjaga ekosistem pesisir itu kini hanya berjumlah 3,5 juta hektar. Padahal, satu hektar hutan mangrove mampu menyimpan karbondioksida 800-1.200 ton. Fakta ini menjadikan mangrove sebagai kawasan ekosistem esensial yang penting bagi keberlanjutan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
Permasalahan tersebut belum ditambah dengan faktor lain seperti sampah yang ada di sepanjang pesisir. Sebagai negara yang tercatat sebagai produsen sampah plastik tertinggi kedua setelah Tiongkok, Indonesia menghasilkan 468-594 ribu ton sampah plastik yang dihasilkan per tahunnya. Dari jumlah tersebut banyak yang akhirnya berakhir di pesisir dan hutan mangrove. Kondisi ini tak jarang mengakibatkan abrasi yang mengancam kehidupan masyarakat di pesisir.
Sederet kerusakan ekosistem yang terjadi di pesisir telah mengancam ekosistem di laut yang justru memiliki peran penting untuk kelangsungan hidup penduduk di Bumi. Dr. Sylvia Earle seorang marine biologist dan ocenanographer dalam film Seaspiracy mengatakan, lautan adalah penyerap karbon terbesar di Bumi. Setiap satu hektarnya tumbuhan laut dapat menyerap hingga 20x lebih banyak karbon daripada hutan di darat. Sebanyak 93% dari seluruh CO2 dunia disimpan di laut dengan bantuan vegetasi laut, alga dan karang. Kehilangan 1% saja dari ekosistem ini setara dengan melepaskan emisi dari 97 juta mobil.
Penjaga laut, sederet fakta tersebut telah memunculkan pertanyaan kepada kita mungkinkah Bumi pulih jika laut dan pesisir sakit?
Sumber:
https://tirto.id/earth-day-22-april-2021-tema-cara-merayakan-hari-bumi-sedunia-gddT
Puryono, Sri. 2018. Mengelola Laut Untuk Kesejahteraan Rakyat Refleksi untuk Indonesia Sejahtera. Penerbit Undip Press. Semarang https://core.ac.uk/download/pdf/231790173.pdf
Mustika Rima. Agustus 2017. Dampak Degradasi Lingkungan Pesisir Terhadap Kondisi Ekonomi Nelayan: Studi Kasus Desa Takisung, Desa Kuala Tambangan,Desa Tabanio. Jurnal Dinamika Maritim Volume 6. Studi Agrobisnis Perikanan, Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan.
Seaspiracy. Kip Andersen. Perf. Dr. Sylvia Erale. Netflix 2021. Film