Nasib Nelayan Di Tengah Perubahan Iklim
Juni 5, 2021Mengapa Destructive Fishing Marak Terjadi di Laut Indonesia
Juni 11, 2021Penjaga laut, ada sekitar 60% penduduk Indonesia yang tinggal di 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh pesisir Indonesia. Karekteristik wilayah, latar belakang budaya dan ketersediaan serta prasarana penunjang menjadikan mayoritas dari mereka berprofesi sebagai nelayan dan juga pembudidaya. Lebih dari 90% nelayan tersebut adalah nelayan kecil yang menangkap ikan di daerah pesisir yang kini terdampak akibat perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah perubahan pada suhu, curah hujan, pola angin dan berbagai efek-efek lain secara drastis. Perubahan iklim disebabkan oleh Efek gas rumah kaca, Pemanasan Global, Kerusakan lapisan ozon, Kerusakan fungsi hutan, Penggunaan Cloro Flour Carbon (CFC) yang tidak terkontrol dan Gas buang industri. Keenam faktor ini telah menyebabkan seluruh wilayah indonesia mengalami kenaikan suhu udara, dengan laju yang lebih rendah dibanding wilayah subtropis. Kenaikan suhu ini telah mendorong kenaikan air laut dan menyebabkan banjir rob disejumlah wilayah.
Dari tahun 2000 ke 2030, kenaikan rata-rata permukaan air laut akan meningkatkan risiko banjir pesisir atau rob sebesar 19-37 persen. Tidak hanya wilayah Pulau Jawa saja yang memang sudah rentan terhadap banjir rob ini, tetapi sebagian Sumatera bagian utara, Sulawesi Selatan juga berpeluang ikut terdampak. Sebanyak sepuluh provinsi di Indonsia mengalami bencana gelombang pasang sepanjang 2018-2019. Banyak dari mereka yang akhirnya pindah, namun tak sedikit pula yang tetap tinggal sambil berupaya mengatasi dampak dari perubahan iklim di desanya masing-masing.
Contohnya adalah Pasijah, nelayan Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah yang merupakan satu-satunya keluarga yang masih tinggal di desa tersebut. Sejak 2001, gelombang pasang dan abrasi telah mengikis jarak antara pemukiman dan bibir pantai. Air laut perlahan memasuki pemukiman warga setiap tahunnya sejak 2003, 2005 hingga terkahir 2010 desa yang terkenal dengan penghasil bandeng tersebut hanya tinggal kenangan.
Tapi, Pasijah enggan meninggalkan tempat kelahiranya itu. Sejak 2001 ketika abrasi dan gelombang, perlahan mulai merendam banyak pemukiman di desanya, Pasijah mulai berinisiatif menanam mangrove. Ini ia lakukan setiap tahunnya, tak lain dan tak buka untuk menjaga agar ia dan keluarga masih bisa bertahan di tengah terjangan abrasi dan gelombang pasang.
Pasijah adalah salah satu dari beberapa warga pesisir Demak yang secara swadaya menanam mangrove. Kini, ada sekitar 80 hektare luas tanaman bakau yang ditanam secara swadaya oleh masyarakat di Demak, Jawa Tengah.
Demak dan wilayah lain di pesisir Utara Pulau Jawa, memang dalam kondisi yang menghkawatirkan. Masa kejayaan tambak bandeng di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa sejak 1970-an perlahan musnah. Ombak yang mengikis garis pantai atau disebut abrasi menjadi musabab jarak pemukiman warga dengan bibir pantai di Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat semakin menyusut. Sejak 20 tahun silam hingga sekarang ada sekitar 2 kilometer jarak bibir pantai dengan pemukiman yag menyusut. Akibatnya, belasan hektare tambak bandeng kini rata air. Sumber pendapatan warga kian tergerus menyababkan sekitar 2.000 kepala keluarga mengungsi ke daratan yang lebih tinggi.
Sementara itu, luasan hutan mangrove di Jawa Barat mencapai 34.321 hektare, tapi hanya 2.830 diantaranya dalam keadaan baiik. Sedangkan luasan pemukiman di pesisir jauh lebih banyak dan mengakibatkan ancaman abrasi dan gelombang pesisir semakin tinggi. Jumlah yang tak sebanding ini juga ditemukan di Jawa Timur, dari total 1.309 desa yang berada di pesisir hanya terdapat memiliki 344 titik hutan bakau.
Kondisi ini menyebabkan Pasuruan memiliki potensi tinggi diterjang abrasi dan gelombang pasang. Pada hari Jumat (21/08/2020) di Desa Wates, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan terjangan gelombang pasang laut yang menyebabkan dua rumah dan 1 sekolah rusak berat. Berdasar pendataan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pasuruan, gelombang tinggi yang berlangsung sekitar empat jam itu menyebabkan tangkis pembatas sepanjang 1.000 meter jebol.
Kabupaten Pasuruan memiliki 24 kecamatan dengan lima di antaranya berbatasan langsung dengan perairan Laut Jawa (Selat Madura). Total garis pantai mencapai 31,6 kilometer yang membentang di 17 desa. Desa Wates, Kecamatan Lekok adalah salah satunya.
Berdasar profil desa pesisir yang diterbitkan Pemrov Jawa Timur, Desa Wates memiliki garis pantai sepanjang 4,6 kilometer. Sekaligus menempatkannya sebagai desa dengan garis pantai terpanjang dibanding desa-desa pesisir lain di Kabupaten Pasuruan. Sayangnya, meski memiliki garis pantai terpanjang, Wates justru tercatat sebagai satu-satunya desa yang tidak memiliki tanaman mangrove pada bentang garis pantainya.
Sementara itu di desa lain, upaya warga untuk mengatasi abrasi dan gelombang pasang akibat perubahan iklim sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Makarim, misalnya, Petani Mangrove asal Pasuruan Jawa Timur mulai menanam sejak 86 hingga sekarang. Ia mengaku setiap tahunnya terus menanam bakau untuk mencegah abrasi dan gelombang pasang. Ia bahkan mengaku bahwa upayanya untuk menanam mangrove dilakuka swadaya tanpa bantuan dinas dan pemerintah. Walhasil ada sekitar 57 hektare lahan mangrove yang sudah berhasil ia tanam sekarang.
Apa yang dilakukan oleh Pasijah dan Makarim sebagai masyarakat pesisir tak hanya dilihat sebagai upaya untuk bertahan di tengah terjangan abrasi dan gelombang pasang. Namun, upaya tersebut penting untuk dilihat sebagai insiatif untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang tengah terjadi di sepanjang pesisir Utara Pulau Jawa. Dengan demikian, baik Pasijah, Makarim dan warga lainnya yang memiliki itikad yang sama, memerlukan dukungan dari semua pihak termasuk pemerintah. Sebab, tak hanya Demak dan Pasurua yang kini sedang terancam tenggelam, hampir seluruh pesisir Indonesia juga mengalami nasib yang sama.
Nah penjaga laut, mereka juga membutuhkan upayamu juga. Jadi tunggu apa lagi, mari selamatkan pesisir kita dari dampak perubahan iklim!
Sumber:
https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=fMI4tdftlPQ&t=31s
https://www.youtube.com/watch?v=jCRTFwd1O10
https://www.mongabay.co.id/2020/08/23/saat-abrasi-makin-ancam-permukiman-di-pesisir-pantai-pasuruan/
https://www.youtube.com/watch?app=desktop&v=fMI4tdftlPQ&t=31s
https://www.ekuatorial.com/2020/02/krisis-iklim-menelan-kehidupan-di-pantai-utara-jawa/
https://www.mongabay.co.id/2019/02/12/nelayan-dan-masyarakat-pesisir-terdampak-perubahan-iklim/
http://indonesiabaik.id/infografis/mengenal-perubahan-iklim-faktor-dan-dampaknya
https://tirto.id/data-dan-fakta-tentang-perubahan-iklim-dalam-angka-fswE
https://www.mongabay.co.id/2018/04/20/negara-tidak-hadir-di-tengah-masyarakat-pesisir/